Ilmu, Ilmuwan dan Iman




”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. …  Dan barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (HR. Thabrani)



Sejak diturunkannya surat Al Alaq 1-5, maka genderang cahaya ilmu mendapat pengakuan sebagai bagian dari kehidupan manusia baik untuk kepentingan dunia maupun akhirat.  Manusia mendapatkan kebebasan untuk mempelajari berbagai sendi kehidupan dunia untuk mencapai pemahaman atas keberadaan, kebesaran dan karunia Allah yang tak terbatasi oleh akal pikiran manusia.  Titik ini adalah salah satu kunci jawaban dari berbagai pertanyaan manusia yang pada masa itu terkekang oleh aturan yang telah dibangun sendiri oleh manusia dengan melakukan banyak perubahan terhadap kitab suci yang sebelumnya.  Cahaya terang Islam yang kaffah telah mampu menjawab berbagai pertanyaan, mengobati dahaga manusia atas ilmu pengetahuan, dan mendorong kemajuan peradaban Islam menjadi yang terdepan selama beberapa abad.  Bahkan cahayanya bisa dinikmati dan menerangi kegelapan di berbagai belahan dunia lain yang meskipun tidak mengikuti ajaran Islam.  Islam rahmatan lil `alamin.

Beberapa abad ini, kaum muslim nyaris tertinggal di belakang.  Umat Islam yang dulu begitu termasyhur kehebatannya dan kemajuannya dalam ilmu pengetahuannya, kini terpuruk dan melemah.  Ada apa dengan Islam dan Ilmu? Apa gunanya ilmuwan berislam saat ini? Toh, ilmu pengetahuan saat ini berkembang pesat di Barat yang notabene bukan Islam, bahkan dengan meninggalkan agamanya mereka bisa mencapai kemajuan melebihi umat Islam.  Haruskah umat islam menjadi ilmuwan dengan meninggalkan agamanya agar bisa maju seperti mereka?  Jawaban pertama secara sadar dari seorang ilmuwan Islam pasti “Tidak“.  Tapi apakah dalam keseharian mencari ilmu, menggali pengetahuan mereka masih berpegang pada Islam?

Dasar pertama dalam setiap perbuatan seorang muslim hendaklah diniatkan karena “Allah“, bersandarkan kepada “Allah“ dan kemudian bertujuan kepada “Allah“.  Penjabaran kesejatiannya bisa berawal dari pembacaan lafaz Bismillah sepenuh hati dalam setiap kegiatan mencari ilmu (termasuk memulai belajar, mengajar dan meneliti).  Lebih jauh, niat karena Allah ini bisa dirasakan bahkan dari melihat objek yang akan menjadi sumber ilmu.  Dengan menghadirkan Allah sebagai pencipta objek tersebut, segala rasa indra dalam tubuh akan meresapi detail kebesaran Allah dalam menciptakan.  Bunga bukan sekedar bunga, ikan bukan sekedar ikan, alam bukan sekedar alam, aktivitas manusia bukan sekedar manusia; melainkan puzzle ciptaan Allah yang tidak mungkin bergerak dan hidup sendiri tanpa kuasa Allah.  Setiap sel dalam tubuh dari mata, tangan, hati dan pikiran  akan tertumpu dan merasa, meraba dan meresapi ilmu yang ada, baik tampak maupun tidak.  Badan bukan sekedar badan namun menyatu dengan alam semesta menggapai kehidupan yang besar.  Saat hidup dan kehidupan diniatkan karena Allah, maka kedekatan dengan Allah akan menjadi bagian dari proses dan hasil mencari ilmu.  Allah akan membukakan pintu ilmu seluas-luasnya, menerangkan penglihatan dan memperluas jalan pemikiran tanpa batas yang diduga sebelumnya.

Kekuasaan Allah tanpa batas, namun hati, pikiran dan tubuh manusia penuh keterbatasan, lemah dan sering kali terbatasi.  Godaan dunia terpampang di depan mata, jauh lebih besar dari beban dan rintangan yang sebenarnya. Hiduppun menjadi terasa berat untuk dilalui, jalan penuh semak belukar, beban semakin besar dan tak ada pijakan yang dapat digunakan. Saat inilah, iman ilmuwan diuji dan dimanfaatkan. Iman bukan sekedar percaya dalam kata namun dengan penuh kesadaran menyandarkan kehidupan kepada “Allah“. Tak ada kepenatan, tekanan, kegelisahan, dan ketegangan dengan menyandarkan proses dan hasil kepada Allah.  Seberapa besar manusia bisa melepas materi agar berjalan sebagaimana sunatullah, disitulah kemudian dia akan menemui makna yang sesungguhnya dari ilmu.

Tugas ilmuwan adalah membaca kalam Allah dalam alam dan kehidupan.  Kadang hasil kerja keras selama sekian waktu mungkin tidak sesuai dengan hipotesis semula, karena mungkin sebenarnya kemampuan otak manusia pada saat menganalisisnya yang kurang tepat sehingga tidak sesuai dengan pengharapan.  Namun demikianlah ilmu, tak ada yang salah dengan ilmu pengetahuan yang nyata.  Jika ada kesalahan maka itu semua berasal dari kelemahan manusia.  Saatnya kelemahan manusia (ilmuwan) muncul maka kembali kepada Allah adalah sebaik-baiknya tempat kembali.  Dengan kuasa Allah menerangi hati dan pikiran, batu beban sebesar gunung adalah hal teringan untuk diangkat dan dibalik menjadi bagian dari kekuatan ilmuwan. Rintangan seluas samudra adalah bagian terindah perjalanan yang diarungi tanpa lelah, resah, gelisah, karena Allah senantiasa menyertai.  Saat manusia mendekat kepada Allah, Allah akan jauh lebih dekat dari yang dibayangkan semula.

Dalam setiap langkah, tak ada kehidupan tanpa ilmu.  Ilmu meningkatkan derajat kehidupan manusia bukan materi kehidupan karena jalan itu sekedar membangkitkan kebanggaan semu.  Ilmu menjadi sangat melenakan saat dimaknai dengan gelar, prosesi wisuda, pekerjaan dan kekayaan.  Pada tujuan akhir “Allah“ bermakna bahwa setiap proses perjalanan dan perolehan hasil akhir dari pencarian ilmu tersebut adalah rahmatan lil’alamin.  Ilmu bukanlah ilmu saat merusak keseimbangan kehidupan.  Ilmuwan yang berkutat dalam kehidupannya sendiri tanpa kontribusi pada umat dan alam secara tanpa sadar melepaskan pegangan dan sumber ilmu, Allah.  Apapun bidang ilmu yang digeluti maka hendaknya kembali memberi rahmat dan manfaat bagi kehidupan manusia dan alam.  Ilmu itu tanpa makna tanpa pengamalan yang memberikan manfaat bagi umat. Ilmu yang diamalkan akan mendatangkan ilmu lain yang belum diketahui, baik secara langsung maupun tidak langsung.  Ilmuwan tak perlu menunggu gelar tersematkan dan ijasah di tangan, dalam setiap helaan nafas, langkah, senyuman, tingkah perbuatan dan peran dalam kehidupan sosial dan sehari-hari yang bermanfaat dan membahagiakan bagi lingkungan, teman, sahabat, tetangga, saudara adalah amalan yang paling dicintai Allah.

Semoga Allah senantiasa menguatkan ilmu dan iman ilmuwan.

Wallahu a’lam bish-shawabi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kata Mutiara Ilmu Adalah Cahaya

Motivasi Bagi Penuntut Ilmu dari Perjalan ulama